Minggu, 10 Februari 2013

Dunia Pendidikan Kita Sekarang

Sekolah atau perguruan tinggi merupakan bagian dari organisasi pembelajaran yang harus mampu melahirkan manusia pembelajar. Manusia pembelajar merupakan orang yang menempatkan perbuatan belajar dalam totalitas kehidupannya, bukan sebatas sekolah atau belajar di perguruan tinggi, apalagi hanya untuk mengejar ujian semester dan ujian akhir. Dan bukan pula hanya peserta didik dan anggota komunitas sekolah, komunitas kampus atau komunitas lembaga-lembaga pendidikan lainnya, akan tetapi secara lebih luas masyarakat juga ikut andil dan harus berperan dalam organisasi pembelajaran untuk membentuk manusia pembelajar.

Menciptakan dan membentuk manusia pembelajar dalam makna luas tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses reformasi kesadaran. Keseriusan dan rentang waktu yang panjang sangat diperlukan untuk mencapainya. Disamping itu kita juga harus menghadapi tatanan sosial yang nyaris tidak dapat diubah seperti kemalasan, rasa cepat puas, iri dan dengki, tertutup mental, menerima apa adanya, pasrah kepada nasib, dorongan berprestasi yanga rendah, dan sebagainya. Inilah sejumlah perosoalan yang harus dihadapi oleh manusia pembelajar.

Manusia dalam bermasyarakat sangat membutuhkan pendidikan, karena pendidikan memegang peranan penting dalam mewujudkan pembangunan bangsa. Karena melalui pendidikan akan lahir manusia yang mampu memberikan sumbangan pada bangsa dan negara. “Agar terlahir manusia yang mampu memberikan sumbangan terhadap bangsa, maka proses pendidikan harus mendapat perhatian khusus”.

Dalam undang – undang sistem pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 menetapkan tujuan Pendidikan Nasional, yaitu :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasankan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Jika kita menelisik pada tujuan pendidikan Nasional di atas, sudah barang tentu seharusnya demoralisasi dalam dunia pendidikan tidak akan terjadi dan tidak pernah terjadi, karena tujuan pendidikan nasional tersebut tentu disusun berdasarkan perencanaan yang matang dan akurat agar setiap celah yang dapat merusak pendidikan Indonesia mampu diminimalisir. Namun fakta yang terjadi di lapangan sangatlah berbeda, jauh panggang daripada api. Pendidikan di Indonesia telah mengalami fase demoralisasi karena output yang dihasilkan dari Sekolah/ Perguruan Tinggi tidak dapat mengatasi keterpurukan moral yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini.

Demoralisasi bisa kita artikan dengan kerusakan moral/ akhlak. Jika kita kaitkan dengan pendidikan, ini berarti bahwa pendidikan yang berkembang di Indonesia telah kehilangan tujuan mulianya yakni pembentukan moral/ sikap mental peserta didik itu sendiri. Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran baik dan buruk perbuatan, dan kelakuan (akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandang, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik.

Demoralisasi dalam dunia pendidikan sesungguhnya ancaman yang sangat berbahaya terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Jika dibiarkan, ia akan menyebabkan lumpuhnya tujuan pendidikan nasional yang kita idam-idamkan. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dituntut peka untuk menyelesaikan persoalan ini. Pembangunan infrastruktur pendidikan seharusnya tidak hanya bertumpu pada pembangunan fisik semata, lebih dari itu perkembangan moral dan karakter peserta didik jauh lebih utama. Karena biar bagaimanapun, intelektualitas yang baik jika tidak dibarengi dengan moralitas yang baik pula, sesungguhnya kita hanya menghasilkan robot-robot manusia, yang hanya pandai melakukan pekerjaan namun tidak mampu menyelesaikan persoalannya sendiri. Sebagai contoh sederhana, coba lihat bagaimana cara peserta didik kita menyelesaikan persoalannya, narkoba dan minuman keras, seolah menjadi teman akrab mereka dan parahnya telah dikultuskan sebagai  obat untuk menyelesaikan semua permasalahan.

Di mana ada asap tentu disana akan ada api. Begitu juga halnya dengan masalah Demoralisasi Pendidikan, bahwa persoalan ini muncul bukanlah datang begitu saja melainkan ada penyebabnya. Dalam hal ini, setidaknya ada 4 (empat) faktor yang menyebabkan munculnya demoralisasi dalam dunia pendidikan Indonesia antara lain : 

Pertama, Pelaku Pendidikan Tak Mampu Jadi Panutan. Ada ungkapan bijak bahwa Guru dalam kreta bahasa jawa berarti digugu lan ditiru (didengar dan ditaati). Namun seiring perjalanan waktu bahwa ungkapan itu seperti sudah kering akan makna. Guru seolah tak mampu lagi memberikan contoh teladan kepada anak didiknya. Bukan hanya Guru, semua pelaku pendidikan kita hari ini tak mampu lagi memberikan nilai-nilai keteledanan tersebut. Banyak persoalan yang menimpa pelaku pendidikan kita, dari mulai korupsi, asusila, kekerasan dan penyalah gunaan wewenang semuanya datang silih berganti tidak kunjung henti.

Kedua, Kurikulum Yang Tidak Relevan dengan Kondisi ke-Daerahan. Persoalan kurikulum menurut hemat penulis juga memberikan sumbangsih besar terhadap munculnya demoralisasi dalam dunia pendidikan. Kurikulum merupakan seperangkat bahan ajar yang akan disuguhkan kepada para peserta didik. Kita bisa membayangkan, jika menu nyang disuguhkan itu tidak relevan dengan kebutuhan siswa tentu hanya sia-sia saja. Hal ini sama dengan kita memberikan sagu kepada masyarakat yang dalam kesehariannya makan nasi yang bersumber dari padi. Tentu sagu disuguhkan itu tidak akan memberikan efek apapun terhadap masyarakat tadi dan boleh jadi tidak akan menjadi sumber tenaga mereka karena memang sumber tenaga yang mereka dapat selama ini berasal dari beras yang diolah menjadi nasi. Pemerintah perlu mengkaji ulang kembali kurikulum yang telah disusun tersebut, apakah relevan dengan kebutuhan peserta didik. Kurikulum bagi peserta didik yang tinggal di daerah perkotaan tentu berbeda dengan peserta didik yang tinggal di pedesaan. Jangan bicara keseragaman, karena manusia diciptakan oleh Allah SWT memilki karakter dan sifat yang berbeda-beda pula. Pemerintah harus lebih bijak dalam menyusun kurikulum pendidikan, agar relevan dengan kebutuhan masing-masing daerah.

Ketiga, Proses Pendidikan Mengabaikan Karakter Peserta Didik. Pemahaman tentang karakteristik siswa bertujuan untuk mendeskripsikan bagian-bagian kepribadian siswa yang perlu diperhatikan untuk kepentingan rancangan pembelajaran. Karakteristik siswa menurut para ahli pendidikan adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa yang telah dimilikinya. Menganalisis karakteristik siswa berarti ditujukan untuk mengetahui cirri-ciri perseorangan siswa. Dari tahapan ini kita akan melangkah untuk mengelompokkan siswa tersebut sesuai dengan karakternya sehingga kita dapat menentukan metode pembelajaran yang tepat untuk mencapai hasil belajar yang optimal.  Mengetahui karakteristik peserta didik dimana mereka berada mutlak diperlukan agar kurikulum yang diajarkan tidak bertentangan dengan karakter dan budaya yang telah ada dan melekat pada diri peserta didik itu sendiri.

Keempat, Pendidikan Tak Mampu Menjawab Infiltrasi Budaya. Infiltrasi Budaya bisa kita artikan dengan serangan/ virus budaya luar untuk mengikis budaya yang ada di dalam sebuah tempat/ daerah tertentu. Perbedaan dalam meyakini nilai-nilai, cara berpikir, cara hidup dan cara bertindak pada dasarnya merupakan warisan para leluhur yang secara terus menerus menjiwai seluruh kepribadian seseorang dan masyarakatnya, dan akan tetap mewarnai kehidupan masyarakat tersebut.