Rabu, 15 Januari 2014

Gaya Hidup Kebarat - Baratan Yang Merusak

Kita hidup di jaman dimana kita takut mengungkapkan ketidaksetujuan pada homoseksual dan lesbianisme yang jelas-jelas dilarang agama. Kalau dulu kaum gay-lah yang segan mengungkapkan jati dirinya, sekarang masyarakat umum yang segan mengungkapkan pendapatnya. Takut salah. Takut dicap. Coba kalau ada yang bertanya: "Apakah Anda setuju homoseksualitas?" Anda akan memilih untuk tidak menjawab. Bila Anda menjawab, "Saya tidak setuju, sudah jelas itu dilarang agama"; maka Anda akan di-cap sebagai musuh pluralisme, bahkan penentang hak asasi manusia. Zaman memang berubah. Seseorang yang anti-homoseksualitas, membawa kitab suci kemana-mana, berjenggot dan berjubah, tak dapat diterima di masyarakat milenium ini. Sebaliknya, mereka yang berpandangan liberal sekular, tak rajin ke gereja namun rajin ke diskotek, berpakaian agak terbuka, sangat well-accepted.

Janganlah hal-hal ini mempengaruhi keimanan kita. Meskipun kita dinilai aneh, jadul (jaman dulu), kuno, kaku, dan sebagainya, pegangan kita tetap saja ajaran Nabi Muhammad SAW dan firman Allah SWT. Mungkin tidak updated, tidak laku, tetapi kita mesti percaya bahwa tuntunan inilah yang akan menyelamatkan kita dalam hiruk pikuk persoalan dunia yang semakin menumpuk. Kita lihat saja, permisiveness (pembiaran) dalam hal orientasi seksual, seks bebas, narkoba, akan mengakibatkan potensi tertularnya HIV Aids.

Barat yang naturally (secara alamiah) berideologi individual freedom, bukan social harmony, tentu menerapkan aturan dan kebijakan yang tak sama dengan kita bangsa timur. Anehnya, kita manut saja pada agenda dan nilai-nilai barat. Liberalisme, kapitalisme, sekularisme, bahkan pluralisme, adalah nilai-nilai yang dipaksakan dari barat pada kita. Liberalisme dan plularisme yang percaya bahwa "semua sama baiknya", menjadi paradoxal dengan keyakinan mereka sendiri bahwa liberalisme atau pluralisme atau demokrasi atau sekularisme "is the best". Belum lagi, bila ditinjau dari sudut pandang kita (ketimuran) bahwa semua ada derajadnya: ada yang buruk, kurang baik, atau baik. Tanpa peringkatan baik dan buruk, tatanan sosial menjadi meaningless. Ahmadiyah yang mengaku Islam namun sholat tiga waktu dan bernabikan orang India dianggap oke-oke saja. Nanti akan ada orang yang menuhankan Yudas, bukannya Yesus. Seks bebas adalah hak asasi, dan lembaga perkawinan kehilangan maknanya. Ironisnya, bila kebebasan berekspresi dijunjung tinggi, mengapa Ahmadinejad yang mengatakan "mestinya Israel dihapus saja dari peta dunia" dianggap mengancam? Bukankah dia cuma menerapkan kebebasannya berekspresi?

Kaum perempuan juga menjadi sasaran agenda (sekularisme) barat. Setelah berhasil mengekspor woman's liberation, barat kini gencar mengkampanyekan hak atas kesehatan reproduksi perempuan. Perempuan diberi hak mutlak untuk hamil atau tidak hamil, aborsi atau tidak aborsi, melayani suami atau menolaknya. Persoalan yang dulu diselesaikan secara kompromistis antar personal yang berkaitan, kini menjadi kasus hukum dan hak asasi manusia, menjadi urusan negara, bahkan publik. Anak-anak menikah muda usia salah, lebih baik pacaran dulu dan siapkan kondom.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tua. Meskipun baru merdeka tahun 1945, eksistensi bangsa ini bisa dirunut dari kerangka manusia pertama di dunia yang ditemukan di wilayah Ngawi. Manusia Jawa sama tuanya dengan manusia China. Ketika orang-orang Viking (Eropah) masih berbaju kulit beruang dan makan dengan berburu ikan di laut yang hanya dibakar, orang-orang timur (China, Jepang, Jawa) sudah mempunya peradaban berpakaian (memproduksi sutera) dan memasak makanannya. Ketika tatanan masyarakat Eropa porak poranda (revolusi industri), lelaki menindas perempuan (woman's lib dan feminisme), exodus ke dunia baru (freedom from fear and repression), mengapa kita mengikuti pola mereka? Di tengah arus globalisasi yang membawa paham-paham liberalisme, kapitalisme, sekularisme, dan isme-isme yang lain, kita mesti gigih mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita: menekan kebebasan berekspresi individu demi harmoni sosial, mengurangi/menghapus ketamakan individu demi toleransi sesama, dan lebih dari segalanya: menjunjung tinggi moral dan nilai agama untuk mengatasi persoalan kehidupan yang makin kompleks.