Sebenarnya bukan hanya karena tingginya harga BBM yang
memicu meningkatnya produksi Bahan Bakar Nabati ( BBN ), melainkan juga karena kesadaran untuk
menciptakan lingkungan yang lebih bersih. Protokol Tokyo yang disepakati tahun
1997 dilanjutkan Peta Jalan Bali (Bali’s Road Map) tahun 2007 merumuskan
berbagai langkah yang harus segera diambil untuk menyelamatkan lingkungan,
diantaranya dengan pengurangan emisi gas karbon yang merupakan sumber penyebab
utama pemanasan global.
Negara-negara maju dan negara-negara berkembang berlomba-lomba memproduksi BBN.
Amerika tak tanggung-tanggung, memamfaatkan lebih 20% produksi jagung untuk
memproduksi BBN (bioetanol). India memproduksi BBN (bioetanol) dari tebu,
negara-negara Asia Tenggara memproduksi BBN (biodiesel) dari minyak kelapa
sawit mentah (CPO), dan di Indonesia biodiesel sebagian diproduksi dari minyak
jarak pagar. Tidak ketinggalan adalah produksi BBN (bioetanol) dari ubikayu,
jagung, tebu, dan bahan pangan lainnya dan produksi BBN (biodiesel) dari kacang
tanah, kacang kedelai, dan jenis kacang-kacangan lainnya. Pendek kata telah
terjadi pergeseran pemamfaatan hasil pertanian, dari sumber persediaan pangan
menjadi bahan baku industri.
Telah terjadi impor hasil pertanian secara besar-besaran dari
negara-negara miskin/berkembang yang berlahan luas tapi minim teknologi ke
negara-negara maju yang berteknologi tinggi tapi minim lahan pertanian. Harga
komiditi pertanian langsung melonjak. Mulai dari CPO, kacang kedelai, jagung,
dan buntutnya berimbas pada kenaikan harga beras. Di Indonesia terjadi ekspor
CPO secara besar-besaran yang menyebabkan kenaikan harga minyak goreng. Bahkan
kenaikan biaya pungutan ekspor tidak mampu mengurangi laju pengiriman CPO ke
luar negeri. Bahkan disinyalir telah terjadi ekspor CPO illegal melalui
pelabuhan-pelabuhan di Riau dan Kepulauan Riau yang menyebabkan kerugian besar
pada negara.
Jika kita tinjau sejarah perkembangan BBN di Indonesia, dimulai dengan
terbentuknya Masyarakat Energi Hijau Indonesia (2005), B2TE-BPPT, Eka Tjipta
Foundation dan Timnas Pengembangan BBN, awalnya memiliki tujuan mulia yaitu
menciptakan bahan bakar bersih (cleaner fuel) dan meningkatkan kesejahteraan
petani. Indonesia sebagai negara agraris berpotensi menjadi pemasok hasil
pertanian terbesar di dunia jika dilakukan pemberdayaan dan pendiversifikasian
hasil pertanian. Kehidupan petani yang identik dengan kemiskinan bisa dirubah
dengan mengarahkan mereka untuk menanam tanaman sumber BBN seperti kelapa
sawit, kedelai, jagung, jarak pagar, ubi kayu dan lain sebagainya. Namun pada
perkembangannya, tujuan mulia ini menjadi kurang tepat sasaran.
Daripada mengolah CPO menjadi minyak goreng dengan keuntungan kecil,
mending mereka ekspor CPO dong! Di negara-negara miskin Afrika dan Amerika
Latin juga muncul fenomena yang sama. Daripada menjual produk jagung mereka di
dalam negeri, mending mereka ekspor ke Amerika Serikat yang memang sedang
doyan-doyannya memamah jagung buat dijadikan bioetanol.
Mungkin sudah saatnya Indonesia kembali menjadi negara agraris, yang bisa
berswasembada beras seperti di era Soeharto. Dan sudah saatnya pula Indonesia
tidak dikendalikan oleh pengusaha yang profit oriented. Proteksi harga harus
benar-benar dikendalikan oleh pemerintah. Jangan hanya karena kelapa sawit
lebih menguntungkan, persawahan rakyat digusur. Pemerintah juga wajib
mengupayakan para petani memiliki lahannya sendiri-sendiri, misalnya dengan
memberdayakan lagi program transmigrasi yang akhir-akhir ini tidak terdengar
lagi gaungnya. Jangan sampai ada petani yang seumur hidup menjadi buruh di
sawah dan ladang orang lain. Lebih celaka lagi jika menjadi buruh di tanah dan
perusahaan milik orang asing. Padahal tanah ini, warisan nenek moyang kita,
kita rebut dengan darah dan nyawa dari tangan penjajah. Jika Penanaman Modal
Asing (PMA) dibuka terlalu lebar, yang ada rakyat Indonesia tetap miskin sedang
negara asing itu semakin kaya raya.
BBN jelas perlu dikembangkan karena persediaan BBM semakin menipis. Belum lagi
kenaikan harga BBM yang membuat pemerintah semakin kewalahan menanggung
subsidi. Jika harga BBM naik lagi, rakyat jugalah yang jadi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar