Kita hidup di jaman dimana kita takut mengungkapkan ketidaksetujuan pada
homoseksual dan lesbianisme yang jelas-jelas dilarang agama. Kalau dulu
kaum gay-lah yang segan mengungkapkan jati dirinya, sekarang masyarakat
umum yang segan mengungkapkan pendapatnya. Takut salah. Takut dicap.
Coba kalau ada yang bertanya: "Apakah Anda setuju homoseksualitas?" Anda
akan memilih untuk tidak menjawab. Bila Anda menjawab, "Saya tidak
setuju, sudah jelas itu dilarang agama"; maka Anda akan di-cap sebagai
musuh pluralisme, bahkan penentang hak asasi manusia. Zaman memang
berubah. Seseorang yang anti-homoseksualitas, membawa kitab suci
kemana-mana, berjenggot dan berjubah, tak dapat diterima di masyarakat
milenium ini. Sebaliknya, mereka yang berpandangan liberal sekular, tak
rajin ke gereja namun rajin ke diskotek, berpakaian agak terbuka, sangat
well-accepted.
Janganlah hal-hal ini mempengaruhi keimanan kita.
Meskipun kita dinilai aneh, jadul (jaman dulu), kuno, kaku, dan
sebagainya, pegangan kita tetap saja ajaran Nabi Muhammad SAW dan firman
Allah SWT. Mungkin tidak updated, tidak laku, tetapi kita mesti percaya
bahwa tuntunan inilah yang akan menyelamatkan kita dalam hiruk pikuk
persoalan dunia yang semakin menumpuk. Kita lihat saja, permisiveness
(pembiaran) dalam hal orientasi seksual, seks bebas, narkoba, akan
mengakibatkan potensi tertularnya HIV Aids.
Barat yang naturally
(secara alamiah) berideologi individual freedom, bukan social harmony,
tentu menerapkan aturan dan kebijakan yang tak sama dengan kita bangsa
timur. Anehnya, kita manut saja pada agenda dan nilai-nilai barat.
Liberalisme, kapitalisme, sekularisme, bahkan pluralisme, adalah
nilai-nilai yang dipaksakan dari barat pada kita. Liberalisme dan
plularisme yang percaya bahwa "semua sama baiknya", menjadi paradoxal
dengan keyakinan mereka sendiri bahwa liberalisme atau pluralisme atau
demokrasi atau sekularisme "is the best". Belum lagi, bila ditinjau dari
sudut pandang kita (ketimuran) bahwa semua ada derajadnya: ada yang
buruk, kurang baik, atau baik. Tanpa peringkatan baik dan buruk, tatanan
sosial menjadi meaningless. Ahmadiyah yang mengaku Islam namun sholat
tiga waktu dan bernabikan orang India dianggap oke-oke saja. Nanti akan
ada orang yang menuhankan Yudas, bukannya Yesus. Seks bebas adalah hak
asasi, dan lembaga perkawinan kehilangan maknanya. Ironisnya, bila
kebebasan berekspresi dijunjung tinggi, mengapa Ahmadinejad yang
mengatakan "mestinya Israel dihapus saja dari peta dunia" dianggap
mengancam? Bukankah dia cuma menerapkan kebebasannya berekspresi?
Kaum
perempuan juga menjadi sasaran agenda (sekularisme) barat. Setelah
berhasil mengekspor woman's liberation, barat kini gencar
mengkampanyekan hak atas kesehatan reproduksi perempuan. Perempuan
diberi hak mutlak untuk hamil atau tidak hamil, aborsi atau tidak
aborsi, melayani suami atau menolaknya. Persoalan yang dulu diselesaikan
secara kompromistis antar personal yang berkaitan, kini menjadi kasus
hukum dan hak asasi manusia, menjadi urusan negara, bahkan publik.
Anak-anak menikah muda usia salah, lebih baik pacaran dulu dan siapkan
kondom.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang tua. Meskipun baru
merdeka tahun 1945, eksistensi bangsa ini bisa dirunut dari kerangka
manusia pertama di dunia yang ditemukan di wilayah Ngawi. Manusia Jawa
sama tuanya dengan manusia China. Ketika orang-orang Viking (Eropah)
masih berbaju kulit beruang dan makan dengan berburu ikan di laut yang
hanya dibakar, orang-orang timur (China, Jepang, Jawa) sudah mempunya
peradaban berpakaian (memproduksi sutera) dan memasak makanannya. Ketika
tatanan masyarakat Eropa porak poranda (revolusi industri), lelaki
menindas perempuan (woman's lib dan feminisme), exodus ke dunia baru
(freedom from fear and repression), mengapa kita mengikuti pola mereka?
Di tengah arus globalisasi yang membawa paham-paham liberalisme,
kapitalisme, sekularisme, dan isme-isme yang lain, kita mesti gigih
mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa kita: menekan kebebasan
berekspresi individu demi harmoni sosial, mengurangi/menghapus ketamakan
individu demi toleransi sesama, dan lebih dari segalanya: menjunjung
tinggi moral dan nilai agama untuk mengatasi persoalan kehidupan yang
makin kompleks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar