Ketika mendengar sebutan “Dosen”, maka yang terbayang adalah seorang
(pria/wanita) pendidik yang ada di perguruan tinggi. Dalam jenjang
pendidikan dosen ini minimal harus bergelar master atau telah lulus
jenjang pascasarjana S2. Namun, ada realitas tersembunyi yang tidak
semua orang tahu.
Berikut ini saya mencoba menjelaskan mitor-mitos tentang nasib dosen yang tidak semua orang tahu.
Dosen berpendidikan tinggi.
Dosen memang harus berpendidikan tinggi. Undang-undang tentang dosen
mewajibkan dosen yang mengampu di semua jenjang pendidikan harus lulus
magister. Malah ada aturan administratif yang menjelaskan bahwa dosen
yang ingin naik jabatan fungional ke Lektor Kepala harus sudah selesai
pendidikan doktor atau S3.
Untuk menyelesaikan doktor pun sang dosen harus mengorek tabungannya
sendiri dan pihak perguruan tinggi dengan berbagai dalih seperti angkat
tangan dengan biaya yang dikeluarkan dosen. Malah ada dosen yang
sekolah sampai ke luar negeri dan di perguruan tinggi ternama. Sayangnya
pendidikan tinggi ini tidak selaras dengan upah yang diterima.
Dosen bergaji tinggi.
Nah, ini adalah mitos yang sebenarnya sebagian besar patut dikoreksi.
Buat mereka, khususnya dosen yang ada di perguruan tinggi swasta (PTS),
bergabung dengan kampus yang mahasiswanya banyak dan modal PTS-nya
besar, maka sang dosen akan mendapatkan gaji beserta tunjangan yang
layak.
Nah, sayangnya tidak semua dosen memiliki kesempatan untuk bergabung
menjadi PNS Dosen atau PTS yang bagus. Ada dosen yang “terpaksa” bekerja
di PTS yang hanya menggaji dosen dengan ala kadarnya saja. Bahkan ada
perguruan tinggi yang memberikan upah per bulan sekitar Rp500 ribu dan
baru ditambah honor mengajar per sks. Sayangnya lagi ketika liburan
semester seperti Juli-Agustus yang cenderung tidak ada jam mengajar,
maka sang dosen hanya menerima upah saja tanpa pemasukan yang lain.
Upah Dosen yang mengurut dada.
Jangan bayangkan dosen bisa bergaji tinggi apalagi saat menjadi dosen
honor. Ada perguruan tinggi yang memberi upah Rp50 ribu per masuk
dengan beban 3 sks. Bayangkan selama 1,5 sampai 2,5 jam dosen yang sudah
menyandang gelar master atau doktor itu hanya diberi upah Rp 50 ribu
saja.
Dosen bekerja santai.
Mungkin sebagian orang termasuk mahasiswa banyak yang melihat dosen
di kelas bekerja dengan santai. Dosen hanya masuk pada saat mengampu di
jam-jam matakuliah yang sudah ditentukan. Bahkan ada dosen yang sekadar
memberikan tugas dan mahasiswa yang bergantian diskusi di kelas.
Bahwa ada nasib dosen yang tidak semua orang tahu soal pekerjaan
dosen. Dosen tidak sekadar bekerja di kelas saja atau unsur pendidikan
saha, ia harus menerapkan tridharma perguruan tinggi seperti penelitian
dan pengabdian. Dua unsur ini kadang memberikan atau lebih tepatnya
menyita waktu dosen dengan segala aturan-aturan administrasi yang kadang
membuat banyak dosen putus asa.
Dosen administratif.
Sayangnya, pekerjaan dosen yang semestinya lebih banyak berinteraksi
dengan mahasiswa di kelas atau lapangan praktik sering dipaksa untuk
berkutat dengan pekerjaan administratif. Setiap waktu dosen harus
mengerjakan laporan-laporan terkait pekerjaan yang menjadi bebannya
sebagai dosen.
Belum lagi ditambah tugas-tugas yang diberikan oleh yayasan tempat
perguruan tinggi dosen tu bernanung. Yayasan sering memberikan target
kepada dosen per semester, misalnya untuk ikut seminar nasional,
mempublikasikan jurnal, menjalin kerjasama dengan pihak lain, dan
membuka jaringan. Sayangnya target-target itu tidak disertai dengan
dukungan dana dari pihak yayasan, kalaupun ada jumlahnya hanya
secukup-cukupnya dan ada kemungkinan dosen yang nombok.
Dosen yang terpenjara.
Selain pekerjaan administratif, nasib dosen yang tidak semua orang
tahu adalah dosen sebagai pekerja kadang terpenjara oleh perguruan
tinggi tersebut. Dosen dengan upah seadanya dipaksa untuk memberikan
pengabdian 101 persen kepada yayasan atau pihak institusi perguruan
tinggi.
Sayangnya, ketika dosen sudah sadar dan ia mendapatkan tawaran pindah homebase
ke perguruan tinggi lain seringkali pohak yayasan enggan bahkan menolak
melepas sang dosen. Ada saja alasan demi alasan untuk menjegal upaya
pindah dan bahkan ada saja yang sengaja menghilangkan data dosen di
sistem komputer dosen yang apalagi telah memiliki NIDN atau Nomor Induk
Dosen Nasional. Akirnya dosen seperti terpenjara dan tidak bisa
mengembangkan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar